Ciri Keris Surakarta
Ciri Keris Surakarta - Keris-keris gaya Surakarta sangat mudah dikenali. Selain bentuknya yang terkesan gagah dan lebih panjang ketimbang keris-keris Jawa pada tangguh-tangguh sebelumnya. juga memiliki ciri-ciri yang khas. Bentuk bilahnya yang seperti daun pohung dan ujungnya yang mbuntut tuma-ekor kutu rambut-adalah ciri utama keris-keris tangguh Surakarta.
Secara teknik, bilah keris tangguh Surakarta agak panjang dibandingkan keris tangguh Mataram atau Majapahit. Keris tangguh dua kerajaan besar di Jawa ini mempunyai panjang antara 33-35 cm, maka keris tangguh Surakarta lebih panjang sedikit yaitu antara 35-38 cm. Bilahnya berbentuk daun singkong dengan ketebalan sekitar dua kali lipat keris-keris pada umumnya dan gendut di tengah menyerupai badan kadal bunting (ngadal meteng). Bentuk ganja-nya agak melengkung dan sirah cicaknya tidak begitu meruncing pada ujungnya. Gulu meled dan wetengan-nya berukuran sedang.
Pamornya relatif rumit, lembut dan biasanya merata di seluruh permukaan bilah. Pamor miringnya sangat rapi, serta jalur pamor tidak bertindihan satu sama lainnya. Penampilan keris terlihat kokoh, gagah dan meyakinkan.
Ada beberapa detil yang memang khas keris Surakarta, misalnya posisi dho-nya yang sangat wangun (elok) dan pas, berurutan membentuk suatu greneng yang luwes. Keris-keris gaya Surakarta memiliki pamor yang sangat beragam. Yang banyak ditemui adalah pamor-pamor seperti Wos Wutah, Pendaringan Kebak, Ron Ganduru, Wengkon, Raja Rangsang, Kara Welang dan Lar Gangsir.
Keris-keris klasik karya empu zaman Kerajaan Surakarta lama, biasanya memilih dhapur-dhapur populer seperti Sengkelat, Naga, Parungsari atau bahkan keris-keris kalawijan (jumlah luk di atas 13). Demikian pula dalam hal sandangan, keris Solo banyak yang bertatahkan berlian, warangka kayu cendana wangi, pendhok emas/selaka, mendhak intan dan selut berlian. Selain itu, badan keris pun tidak jarang yang berukir emas (tinatah atau sinarasah emas)-dari ganja sampai ujung bilahnya.
Menurut Kanjeng Pangeran Haryo Adipati (KHPA) Sosronagoro, kerabat Kesunanan Surakarta. "Keris Surakarta itu sebenarnya hanya mutrani (membuat ulang bentuk) dari keris yang ada dari tangguh-tangguh sebelumnya. Namun meskipun mutrani, titih garap-nya bisa berbeda, karena masing-masing zaman berbeda."
Pada masa Sunan Paku Buwono II hingga Sunan Paku Buwono IV, ciri keris Surakarta bisa saya sebutkan antara lain pada pesi selalu ada tanda tambah atau plus (+). Yang penting lagi, di tengah bilah keris, di dalamnya, terdapat besi sebagai penguat. Karena itu tidak heran kalau keris Brojoguna itu bisa menembus koin logam. Perlu diingat, dhapur keris Brojoguna itu sebagian besar lurus atau jarang yang ber-luk.
Kekhasan lainnya, ujung keris Surakarta itu mbutut tuma. Pada masa Sunan PB IV hingga Sunan PB IX, bentuk keris Surakarta itu mbangkek atau mempunyai bangkekan (pinggang) atau nggodong andong. Padahal pada zaman Sunan PB III, keris Surakarta belum berbentuk seperti itu-tidak mbangkek.
Keris Surakarta juga dikenal lebih panjang, terutama mulai zaman SunanPB IV, sehingga seringkali disebut corog (keris besar). Panjangnya kurang lebih antara 37 cm atau 38 cm. Sementara ujung ganja-nya gulu cecak tidak dalam dan weteng cecaknya tidak gemuk. Hal ini berkebalikan dengan keris Yogyakarta yang mempunyai gulu cecak dalam dan weteng cecak gemuk. Dalam hal ini, keris Surakarta sering disebut dengan rata bawang sebungkul.
Keris-keris yang lahir pada masa Sunan PB IV sampai Sunan PB IX memiliki fisik lebih panjang dibanding keris-keris pada tangguh sebelumnya. Namun setelah zaman itu lewat, yaitu pada zaman Sunan PB X memerintah, maka bentuk keris-kerisnya kembali kepada ukuran pendek, kurang lebih panjangnya hanya 34 cm sampai 35 cm. Model ini mengambil gaya Majapahit."Saya tidak tahu pasti sebabnya, tapi mungkin ini hanya soal selera Sinuhun PB X saja." jelas KPHA Sosronagoro.
Materi keris Surakarta juga lebih bagus dibanding keris-keris lain, karena memang wilayah Surakarta menyediakan besi, baja dan meteor yang bagus secara kwalitas. Beberapa jenis besi yang bagus itu, diantara lain, karang kijang, kamboja, malela dan balebang. Mulai PB IX hingga
PB XII, bahan keris banyak yang menggunakan bale lumur yaitu besi dari meriam yang rusak atau pecah (Barangkali istilah bale lumur adalah salah ucap dari kata baltimore, sebuah kota di Inggris yang pada masa silam merupakan pusat pembuatan senjata termasuk meriam). Pada masa sebelum PB IX banyak empu yang menggunakan besi malela untuk bahan keris.
Mengenal pamor pada keris Surakarta lebih jelas, lebih detil dan lebih penuh di sepanjang wilah-nya. Pamor keris Surakarta juga banyak kreasinya. Hal ini karena Surakarta atau wilayah Solo mempunyai cadangan pamor yang banyak, salah satunya meteor yang jatuh di kawasan Prambanan pada zaman PB II. Meskipun beragam, namun keris Surakarta banyak yang memakai pamor Pendaringan Kebak, Udan Mas, dan Wengkon Isen. Terutama pada masa-masa PB IX dan sesudahnya. "Hal itu mungkin kerena pada saat itu bukan lagi zaman peperangan, sehingga keraton mulai tenang dan ekonomi lebih tertata. Oleh karena itu, keris-keris dibuat dengan pamor-pamor yang melambangkan kemakmuran," jelas Sosronagoro.
Sementara menurut Ady Sulistyono Ketua Paguyuban Sutrisno Lan Pangrukti Tosan Aji (Pasupati) Solo, keris Surakarta lebih berkiblat pada tangguh sepuh, seperti Jenggala. Ini tampak dari condong leleh yang mempunyai sudut kemiringan 80 derajat. Panjang keris Surakarta itu 4,5 kali panjang ganja, hasilnya sekitar 36 cm hingga 37 cm. Kalau tebalnya ya ideal dengan panjang bilahnya. Dibanding keris Yogyakarta atau tangguh-tangguh sebelumnya, keris Surakarta memang lebih panjang sekitar 1 cm atau 2 cm.
Bentuk keris Surakarta biasanya mbangkek. Sedangkan ciri-ciri lainnya, antara lain, pamor memenuhi bilah, kemudian adanya gendakan (pola pamor akibat pola pukulan yang beraturan). Pamor wengkon isen banyak digunakan untuk keris Surakarta. Ujung keris Surakarta itu mucuk tuma, sedangkan dari segi slorok cenderung berwarna kehijauan. Kalau keris Yogyakarta cenderung kehitaman. Dalam proses pembuatannya, besi mengalami wasuhan (ditempa dan dilipat-lipat). "Pada bilahnya terdapat ada-ada, gusen dan gula milir. Bilah keris Yogyakarta tidak mempunyai itu. Ciri lainnya, bentuk pesi (besi yang masuk ke ganja), dari pangkal hingga ujung mempunyai ketebalan (diameter) yang sama," jelas Ady Sulistyono.
Salah satu ciri khas keris Surakarta, terutama karya Empu Brojoguna adalah besi yang diletakkan di dalam bilahnya. Besi ini berguna untuk memperkuat dan memperkokoh keris. Jadi benar kalau keris Brojoguna itu lebih kuat dari keris lain, bisa menembus logam. Hal itu bukan karena ujungnya runcing, tetapi karena bilahnya diisi besi sehingga kuat," terang Ady.
Soal pamor, keris Surakarta biasanya mempunyai jenis pamor mlumah, misalnya semu kulit semangka, wosing wutah. Tapi ada juga jenis pamor yang miring. Pada keris luk, biasanya mempunyai luk yang rengkol (dalam), seperti ula nglangi (bentuknya seperti ular yang sedang berenang). Sementara kalau keris Surakarta memakai kembang kacang, biasanya bentuknya nggelung wayang. Keris Surakarta jika memakai tungkakan, maka sudutnya mbeung (tidak lancip). Ganja keris Surakarta biasanya berpamor maskumambang. Sedangkan ekor ganja melebar. Pada keris Surakarta, gandik-nya tidak terlalu miring dan lekukan di atas gandik tidak terlalu dalam.
Sumber : Majalah Keris-Vol 19 2010