Makna Spiritual dalam Ricikan Keris
Makna Spiritual dalam Ricikan Keris - Ricikan keris, selain merupakan elemen estetik yang mempecantik penampilan keris, sebenarnya mengandung banyak makna. Dalam ricikan ada pesan dan pengharapan yang berkaitan erat dengan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta, Tuhan yang Maha Esa.
Tak dipungkiri bahwa keris memiliki makna sendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Selama ini sebilah keris dimaknai sebagai simbol keabadian yaitu bersatunya lelaki (pesi) dan perempuan (gonjo) atau juga bersatunya bapa angkasa (pamor dari langit) dan ibu pertiwi (wesi).
Bahkan pemaknaan warongko manjing curigo manjing warongko (warangka yang membungkus bilah keris, dan bilah keris yang masuk dalam warangka) merupakan manifestasi dari ajaran Manunggaling Kawulo-Gusti yang benyak diugemi oleh masyarakat Jawa pada khususnya. Inti ajarannya adalah bahwa rasa sejati manusia sesungguhnya harus mencerminkan kehendak Tuhan yang Maha Esa.
Menyangkut ricikan keris yang lebih detil, sebenarnya juga dibuat dengan landasan kepasrahan kepada Dzat Pencipta yang Maha Agung. Mengapdi dan menyembah kepada Sang Pencipta. Seperti yang sudah dipahami selama ini bahwa pesi merupakan simbol lelaki, gonjo adalah simbol perempuan, maka wilah atau bilah keris merupakan lambang panembah jati kepada Tuhan. Wilah yang meruncing ke atas, menyiratkan bahwa manusia harus selalu mengerucut ke atas, menyiratkan bahwa manusia harus selalu mengerucut olah batin-nya menuju kepada cahaya Allah yang benderang. Sementara sisi tajam di samping kanan-kiri bilah menyiratkan bahwa dalam menyembah harus menggunakan tatanan lahir dan batin atau syariat dan marifat.
Ada-ada-yang membentuk garis tengah dari atas sogokan menuju ke ujung keris adalah peringatan agar manusia dalam bertindak harus selalu berhati-hati. Ini artinya perilaku manusia menjadi hal yang utama. Lis atau Gusen merupakan pengambaran hawa nafsu. Bungkul adalah lambang tekad yang sudah bulat. Tekad untuk menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik atau tekad untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Dalam kebulatan tekad itu, manusia juga harus memiliki landasan bati yang luas yaitu kesediaan untuk memaafkan kesalahan orang lain dan dirinya sendiri. Landasan ini dilambangkan dalam blumbangan yang berarti kesabaran.
Ricikan janur yang terletak di antara sogokan merupakan nasehat agar manusia mesti bersifat luwes dan tidak kaku. Sebagai makhluk yang selalu menyembah kepada Allah SWT, manusia harus bersikap toleran kepada sesamanya-termasuk dalam perbedaan beragama. Greneng yang berbentuk dua huruf Jawa "dha" yang bisa dibaca "dhadha" bisa diartikan kejujuran. Seperti ada ungkapan lama : iki dadaku, endi dadamu? (ini dadaku, mana dadamu?), maka greneng melambangkan orang yang bicaranya selalu jujur dan terus terang.
Ricikan thingil memberi gambaran agar manusia itu mesti rendah hati dan tak suka pamer. Bila memiliki kelebihan ilmu, seharusnya tak perlu ditonjol-tonjolkan, karena kalau memang berilmu, nantinya juga akan dikenal orang lain. Sogokan mencerminkan tetang seseorang yang selalu ingin mengetahui tentang kebenaran sejati. Jadi manusia diharuskan untuk mengungkapkan tentang kebenaran, bukan hanya sekadar tahu sebatas kulit luarnya saja. Namun dalam mencari dan mencoba mengungkapkan kebenaran itu, manusia harus selalu waspada-berhati-hati agar tak merugikan manusia lain yang tak bersalah. Tikel alis dimaknai sebagai lambang kewaspadaan.
Sementara salah satu ricikan keris yang paling terkenal sekar kacang (kembang kacang) merupakan imbauan agar manusia meniru dan memakai ilmu padi : semakin berisi semakin menunduk. Kerendahan inilah yang selalu diingatkan karena manusia mudah tergelincir dalam sikap sombong dan arogan. Kedua sikap ini gampang menjatuhkan manusia dalam alam kebejatan dan kenistaan.
Gandhik menjadi cermin kapasrahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Bentuk Gandhik yang agak miring merupakan lambang ketundukan hati terhadap Sang Pencipta. Dengan rasa yang selalu pasrah kepada Sang Ilahi, maka manusia akan lebih berhati-hati dalam berbicara. Semua ucapannya sudah dipikirkannya terlebih dahulu. Kehati-hatian dalam berbicara ini di dalam keris dilambangkan sebagai lambe gajah.
Manusia akan bisa menjalankan semua ajaran yang dicerminkan dalam bentuk-bentuk ricikan keris itu bila hati dan pikirannya dalam bentuk-bentuk ricikan keris itu bila hati dan pikirannya bersedia menerima nasihat luhur. Kesediaan menerima nasihat ini dilambangkan dalam bentuk sirah cecak pada gonjo. Sementara perhatiannya terpusat dengan seksama kepada orang pandai yang sedang memberi nasihat luhur kepadanya. Perhatian yang terfokus inilah disimbolkan oleh para empu keris dalam bentuk gulu meler-nya. Setelah menerima semua nasihat itu, yang bersangkutan akan mengikuti semua nasihat gurunya itu - dilambangkan dalam bentuk buntut urang yang terakhir, setelah semua langkah dipenuhi, makan manusia harus mengamalkan ilmunya yang telah diperolehnya itu. Seharusnya mengamalkan ilmu ini dimaknakan dalam bentuk sebit ron lontar.
Jadi pada dasarnya, ricikan keris merupakan lambang-lambang pengharapan dan doa bagi manusia yang mau ngugemi.
Oleh : Teguh Iman Santosa (Majalah Keris)
Bahan : Diolah dari Serat Purbobudoyo, Minggiran Yogyakarta