Empu-Empu Keris di Yogyakarta
Menurut catatan dari Ir. Supardi Prawirodipuro dari Dinas Kerajinan di jaman Belanda dulu, di Yogyakarta banyak terdapat empu-empu pembuat keris. Misalnya di Kajar (Gunung Kidul), Bener, Wates, Imogiri dan Ngenta-ngenta. Empu Supolegi adalah empu keris jaman Sultan Agung (1630) yang ada di sebelah timur Imogiri. Ada lagi seorang empu wanita yang menetap di Jombokan, Pengasih, Kulon Progo yang terkenal di Jaman Mataram karena hasil karyanya berupa Keris Sombro.
Desa Ngenta-enta sebelah barat Godean merupakan pusatnya para empu di Yogyakarta. Mereka banyak yang menjadi empu Keraton. Bahkan ada yang sempat menjadi bupati, seperti Tumenggung Jaganegara alias Empu Wangsawijaya yang hidup di jaman HB V (1820-1855).
Kompleks makam para empu di Ngenta-enta merupakan bukti nyata adanya empu-empu yang banyak andilnya dalam sejarah kerajaan Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta. Misalnya Empu Supajaya, Empu Japan, Empu Badhur, Empu Hentowayang, dan masih banyak lagi.
Ir. Supardi menyebutkan bahwa empu pertama yang menetap di Ngenta-enta adalah Empu Hentowayang. Empu Supowinangun di Jaman HB VIII banyak bekerja bagi Patih Danurejo VII dan KRT Puspodiningrat. Ada lagi empu keraton yang terkenal di jaman itu bernama Lurah Padhe Prawirodahana yang banyak membuat keris bagi Kraton Yogyakarta. Salah satu di antaranya adalah keris Kyai Wisodirodo, pernah dipamerkan pada perayaan Sekaten tanggal 5-12 Mei 1938. Ada lagi Empu Bekel Tarunadahana yang juga tak kalah kondangnya sebagai pembuat besi aji yang top.
Dimasa perang kemerdekaan RI, 1945-1950, di beberapa daerah para empu masih tetap berkarya. Tercatat tahun 1944 Empu Jayangpenglaras, abdi dalem keraton Yogyakarta menerima pesanan dari Markas Besar Tentara Yogyakarta sebuat keris berdhapur jalak dengan gambar harimau di sor-sorannya, namun saat keris berbahan baku dari bekas Sitihinggil Keraton dan pamor meteor itu selesai, Jendral Oerip Soemohardjo yang sedianya akan menerima pusaka tersebut meninggal. Jendral tersebut adalah Kepala Staf Tentara Nasional.
Silsilah Empu Tarunadahana menurut Ir. Supardi sebagai berikut :
Tumanggung Supodriya - Temenggung Jakasupa - Tumenggung Supoanom - Tumenggung Sektilanang - Nyai Panjang Mas (di jaman Mataram) - Empu Cindhe Amoh - Empu Supoyang (Empu Jaman Sultan Agung) - Empu Hentowayang (empu Kartasura yang menetap di Ngenta-enta) - Empu Japan I (Empu Kartasura) - Mas Ayu Kadarsih (istri Rm. Sudiro alias Pengeran Hangabehi dari Kartasura yang menyunting puteri Empu Ngenta-enta) - Rm. Supajoyo (empu jaman HB I) - Empu Japan II (empu jaman HB IV-V) - Empu Lombang -Empu R. Panewu Kartawigono (empu jaman HB IV-V) - Empu R. Panewu Prawirodahana (Jaman HB VII-VIII) - Empu R. Bekol Tarunadahana (Empu Jaman HB VIII).
Menurut tradisi keraton Yogya, nama empu tidak ditonjolkan, tetapi nama "jejeneng" (pemuka.lurahnya). Beliau membawahi beberapa orang Empu yang masing-masing mempunyai keahlian khusus. Tumenggung Riyokusuman adalah jejeneng terkenal di jaman HB V. Pada waktu itu, tosan aji selalu dibuat di bangsal Sri Manganti. Itulah sebabnya hasil karyanya, misalnya Keris, Tombak dan sebagainya mendapat sebutan yasan Sri Manganti.
Namun sejak jaman HB VIII pembuatan keris tidak dilakukan di dalam bangsal itu, tetapi di Tamanan yang masih termasuk kompleks kraton. Hasil buatannya sering disebut yasan (buatan) Tamanan. Jejeneng yang terkenal waktu itu adalah Empu Wedono Prawirodipuro.
Groneman dalam bukunya tetang keris-keris Jawa menyebutkan dua orang Empu Puro Pakualaman pada awal abad ini. Mereka adalah Ng. Karyodikromo dan Mas Supotaruno. Sebuah sumber lain mengatakan, di jaman Paku Alam IV (1864-1978) terapat seorang pandai besi di Kulonprogo yang dikenal bagus karyanya. Ia kemudian diangkat menjadi abdi dalem Puro dan disuruh membuat keris, ternyata berhasil. Kemudian pandai besi itu mendapat nama Empu Ngabehi Karyocurigo I. Anakny, Karyocurigo II meneruskan profesi ayahnya sebgai Empu Puro Pakualaman. Disamping itu ada lagi Empu Joyokaryo yang juga menjadi pendiri dinasti empu Pakualaman. Karya Empu Pakualaman ini dapat dilihat di Anjungan Mataram, Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.
Dewasa ini mungkin hanya Empu Jeno Harumbrojo (Gatak, Sumber Agung, Kecamaan Moyudan, Sleman) dan Empu Karyodiwangsa (Kajar, Gunungkidul) yang dapat dianggap sebagai Empu Tradisional. Karena membuat Tosan Aji selalu diiringi sesaji dan puasa. Jeno Harum Brojo adalah keturunan Empu Majapaahit sebagaimana terlihat dalam silsilah keluarganya. Urutannya adalah sebagai berikut :
Kyai Empu Tumenggung Supordriyo (Majapahit) - Kyai Empu Jokosupo (Majapahit) - Kyai Empu Supoanom (Tuban) - Kyai Empu Sektilanang (Tuban) - Kyai Panjang Mas (Mataram) - Kyai Empu Cindheamoh (Kartasura) - Mas Ayu Kadarsih (Kartasura) - Raden Ayu Pandhit (Surokarto) - Kyai Badhur (Ngenta-enta) - Kyai Empu Kartoyuda (Ngento-ento) - Kyai Empu Joyosemito (Jenggalan) - Kyai Empu Joiruno (Jenggalan) - Kyai Empu Supowinangun (Jenggalan), yang terakhir ini menurunkan almarhum Empu Yosopangarso (Jitar, Sumberarum, Moyudan) dan Empu Jeno Harumbrojo (Gatak, Sumberang, Moyudan, Sleman).
Waktu ini memang banyak pandai besi yang membuat keris dan tombak seperti Sala, Yogya Selatan, Surabaya, Tulung agung bahkan juga di Jakarta. Mereka tidak dapat digolongkan kelompok Empu karena dalam berkarya tidak disertai laku tapa dan sesaji. Malah banyak diantaranya yang hanya merubah Tosan Aji lama menjadi barang baru. Mungkin karya mereka tidak kalah bagusnya dengan buatan empu sesungguhnya, namun sebagaimana halnya mebel, tak lebih dari benda pajangan tanpa isi.