Pemindahtanganan & Mahar Keris
Pemindahtanganan & Mahar Keris - Pada awalnya sulit bagi saya pribadi untuk mengetahui seluk beluk mengenai keris. Suatu kebudayaan umumnya ditularkan secara turun temurun. Namun pada era sekarang globalisasi telah membuat banyak sekali perubahan secara cepat dan dramastis. Orang tua yang berpendapat minor mengenai keris, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi sudut pandang anaknya mengenai keris. Maka tidaklah heran bila kita mendengar sebuah cerita dari seseorang yang mengatakan orang tuanya memiliki berbagai macam koleksi, tetapi akhirnya disia-siakan. Dan kita seolah-olah terbangun dari mimpi ketika negara lain membuat pernyataan bahwa keris berasal dari hasil kebudayaan mereka. Lalu hendak dibawa kemana budaya perkerisan nasional sekarang ini? Apa yang kita harapkan dari generasi mendatang terhadap budaya keris nasional?
Saya sendiri mengenal keris bermula dari keris milik orang tua seorang teman yang secara simbolis (tersirat) menceritakan filosofi kehidupan manusia yang dihubungkan dengan filosofi keris. Hal ini membuat saya pribadi menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan budaya keris? Mengapa begitu disakralkan dan seolah-olah membuat rasa ingin tahu yang lebih banyak. Sementara orang tua saya sendiri berpandangan minor terhadap budaya keris.
Pada awal perjalanan memulai mengkoleksi keris, banyak sekali kendala-kendala yang saya alami. Banyak pihak yang memiliki sudut pandang yang beraneka macam mengenai budaya keris yang berujung pada kekecewaan saya pribadi. Walaupun saya sedikit-sedikit mulai memahami konsep budaya keris tersebut, namun hingga saat ini masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul yang saya pribadi belum merasa puas dengan jawabannya.
Haruskah dalam memahami budaya keris harus juga memahami seluk beluk pemikiran mistis budaya Jawa?
Dari pengalaman saya pribadi ketika melepas / memindahtangankan keris ageman tidak pernah mengalami kendala. Namun bila keris tersebut termasuk keris tayuhan, maka ada saja masalah yang muncul. Sulit diakui secara nalar, bahkan banyak orang berpendapat hal tersebut hanya bersifat sugesti semata. Misalnya pada saat saya mendapatkan pemberian secara hibah sebuah keris berdapur tilam sari, diperkirakan tangguh singosari, karena merasa kurang cocok maka saya pindahtangankan kepada seorang teman lain. Namun terdengar kabar sebulan kemudian anak kedua teman tersebut mengalami sakit muntaber yang kemudian tak tertolong. Selanjutnya, karena merasa was-was, ia menyerahkan keris tersebut kepada rekannya yang lain. Hal yang sama terjadi juga demikian, dari masalah pertengkaran keluarga, hingga ia wafat karena sakit. Apakah hal ini berhubungan dengan keris tersebut? Hingga saat ini saya tidak mengetahui keberadaan keris tersebut, namun rasa bersalah secara tidak langsung telah menghakimi saya sebagai penyebab musibah yang menimpa orang lain.
Berdasarkan pengalaman tersebut saya mencoba untuk mengetahui permasalahan dan solusi dari beberapa sumber referensi, baik buku, pengalaman rekan-rekan, maupun kolektor keris. Dari cara-cara tersebut saya mendapatkan suatu pemahaman, bahwa proses pengalihan kepemilikan sebuah keris tidaklah sama dengan konsep jual beli pada umumnya. Dan istilah mahar atau mas kawin, tidaklah sama dengan konsep harga jual sebuah benda.
Pemahaman jual beli pada umumnya berdasarkan konsep ekonomi dan hukum yang berasal dari budaya Eropa, sedangkan konsep mahar menurut konsep filosofi budaya jawa lebih menyangkut pada konsep pemikiran mistis budaya Jawa. Artinya konsep mahar bukanlah berdasarkan atas asas rasa keadilan, namun sebagai salah satu bagian tahapan ritual, dari pengalihan kepemilikan sebuah keris.
Dalam hal pemindah-tanganan sebuah keris, bagi pedagang keris dan (mungkin) kolektor keris, sebuah keris akan diserahkan kepada pemiliknya yang baru jika ‘mahar’-nya sesuai. Tetapi bagi user, karena ada ikatan batin antara keris dan pemiliknya, sebaiknya jangan mengambil ‘keuntungan’ dari harga / mahar pemindah-tanganan keris. Besarnya nilai nominal sebuah keris tayuhan lebih mengutamakan rasa toleransi antara pemilik lama dengan pemilik baru dan tidaklah harus berbentuk uang.
Bagi calon pemilik keris, meminang sebuah keris baru dapat diibaratkan anda meminang seorang gadis yang akan dijadikan istri. Sebaiknya menanyakan terlebih dahulu apakah gadis tersebut merasa cocok dengan anda dan mau mengikut / menjadi istri anda. Aspek pentingnya adalah supaya kedua belah pihak sama-sama merasa nyaman dan tidak ada rasa keberatan dari pihak manapun yang mungkin akan dapat menjadi masalah di kemudian hari.
Bagi pemilik lama keris yang bersangkutan, bila sudah memutuskan untuk memindahtangankan keris tersebut kepada seseorang, sebaiknya jangan mengambil ‘keuntungan’ dari besarnya mahar yang ingin ia terima. Aspek pentingnya adalah jangan sampai ada rasa sakit hati dari pihak si keris, karena merasa dirinya ‘dijual’ dan dihargai sebesar maharnya itu.
Dari pengalaman saya, pengalihan sebuah keris tayuhan akan memberi dampak, secara langsung maupun tidak langsung, terhadap pemilik lama maupun pemilik yang baru. Mudah-mudahan keris tersebut tidak menciderai pemilik lama dan dapat selaras dengan jalan hidup pemiliknya yang baru.
Maka amat disarankan untuk menggunakan jasa ahli tanjeg dalam pengalihan sebuah keris tayuhan, untuk menilai kecocokkan sebuah keris dengan calon pemiliknya yang baru, dan mengetahui apakah keris tersebut mau dipindahtangankan kepada orang tersebut, mungkin termasuk juga untuk menilai kepantasan mahar keris tersebut.
NB* tulisan ini hanyalah pandangan subjektif dari penulis. Jika ada yang kurang berkenan maka kami mohon maaf atas kekurangannya karena keterbatasan kami.
Sumber : Willy H